Jumat, 13 Agustus 2010

Pembatalan keberangkatan program beasiswa - cerita dari milis beasiswa

Minggu ini milis beasiswa cukup ramai oleh email. Bukan email soal pengumuman dibukanya peluang beasiswa, bukan juga karena akan ada event, tetapi karena ada satu orang yang berniat untuk membatalkan keberangkatannya di H-14. Banyak member milis memberi tanggapan. Berikut saya ambilkan kumpulan email tersebut, yang menurut saya sangat menarik.



### Hardian

Dear milister,

Perkenalkan saya Hardian, mahasiswa S2 ITB.
Beberapa bulan lalu saya mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus, skema 'Mobility for Life'...
Prinsipnya beasiswa ini berasal dari EM dan ditujukan untuk pertukaran pelajar (guest student) antar universitas.
Saya mendapatkan kesempatan belajar di Aalborg Univ. Denmark, selama 10 bulan --dan statusnya saya sudah confirm.
Saya tidak mendapatkan gelar tapi diberikan sertifikat yang menginformasikan saya lulus mata kuliah yang diikuti di sana.




Beberapa minggu lalu saya telah mengurus berbagai hal seperti visa, tiket dan dipastikan saya tinggal berangkat saja.
Karena banyak lain hal, terutama keluarga, saya jadi agak berat untuk meninggalkan keluarga di Indonesia.
Hal ini baru terjadi beberapa hari ini. Akhirnya saya berencana (masih rencana) untuk membatalkan kepergian.

Di milis ini saya ingin bertanya, apakah dari teman2 ada yang pernah membatalkan kepergian H-14...
Kemudian apa konsekuensi yang kira2 saya terima, apakah saya akan di blacklist oleh EM, atau ada hal2 yang lain.
Sungguh saya sendiri tidak bermaksud memainkan beasiswa ini... saya lakukan ini semata2 karena saya berat meninggalkan keluarga.

Sebagai tambahan informasi, saya pribadi tidak keberatan melepas beasiswa ini walaupun belajar di LN merupakan salah satu keinginan terbesar saya dan saya yakin disana saya bisa belajar banyak.
Mungkin ada yang bisa share sehingga memberikan saya beberapa perspektif. Terima kasih sebelumnya.


### yusril_eka

Hidup adalah pilihan and the choice is yours…..only you can decide what yours.

Tapi kalau boleh berpendapat…..pribadi bagi saya, “sekolah di luar negeri bukanlah segalanya”

Secara realistis, sukses bukan ditentukan oleh status “lulusan luar negeri atau tidak” akan tetapi yang lebih menetukan adalah “what you can contribute from your degree” because degree without contribution is nothing….

Atas pertimbangan itu pula saya memutuskan untuk tidak menindaklanjuti beberapa kesempatan sekolah S3 di LN dengan pertimbangan yg sangat rational….”contribution is much more important than just degree” dan saya memutuskan to be entrepreneur dan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bagi masyarakat marginal.

Sekali lagi,…the choice is yours dan what ever the choices , it will be the best for you….

good luck


### idham_bz

Dear Mas Hardian,
Saya turut bersedih dengan dilema yang sedang dihadapi. Namun sepertinya saya mencoba memberika sedikit pandangan dari apa yang bisa saya fahami. Perjuangan yang diraih ini tentu tidak gampang dan memakan banyak waktu dan energi, maka tentu akan sangat sayang sekali kalau dilepas begitu saja. Sebenarnya saya ingin lebih tahu detil, siapa keluarga yang dimaksud oleh mas Hardian ini? Apakah Bapak Ibu, apakah anak dan istri? Kalau saya lihat, sepertinya lebih kepada anak dan istri ya mas? (maaf kalo hanya menebak saja) tetapi menurut saya mas Hardian bisa pergi terlebih dahulu ke eropa. Setelah itu baru kemudian mas Hardian mengajak serta keluarga ikut kesana. Kalau durasi yang dimiliki itu 10 bulan, mas Hardian bisa menyiasati dengan fifty-fifty, 5 bulan pergi sendiri dan nyambi kerja disana kemudian lumayan bisa ngumpulin uang buat membawa anak dan istri ikut berkunjung ke Eropa. Atau kalau keterbatasan biaya dan waktu, Sang istri dan anak bisa menyusul 1 bulan menuju kepulangan. Saya yakin, itu bakal menjadi perjalanan yang tidak akan terlupakan bagi keluarga. Good luck ya mas, semoga segera mendapatkan jalan.. Amiin


### tommy setiawan

Dear Pak Hardian ,

Sepanjang pengalaman saya ketika mendapat pengalaman belajar di LN,asalkan kita bisa memberikan alasan yang jelas dan rasional seharusnya bisa dimengerti oleh pihak mereka .Mereka kan juga belum keluar duit apapun ke kita secara langsung .

Mungkin alasan pembatalannya saja yang lebih dipertegas .


### prataksita narendra

Sebenarnya susah juga kalo seperti itu. Masalahnya kalaupun di blacklist, bukan semata-mata nama yang membatalkan beasiswa tetapi justru negaranya yang kadang di black list. Mungkin tahun depan kuota dari Indonesia akan dikurangi atau penambahan jumlah penerimanya dikurangi.

Mohon diingat juga berapa jumlah calon penerima beasiswa yang "dikalahkan" yang mungkin mencita-citakan beasiswa tersebut.


### hadisoemartopanji

Selamat atas keberhasilannya, Mas.

Saran saya, tanyakan langsung ke pihak sponsor karena mereka yang berwenang dan
mengetahui jawaban pastinya. Tapi sebelum itu, tolong pikirkan nasib
pesaing-pesaing Mas yang berhasil Mas singkirkan dan tidak bisa pergi karena Mas
dinilai lebih pantas mendapatkan beasiswa tersebut. Padahal, banyak di antara
mereka juga membawa harapan keluarga agar bisa pergi. Apalagi di H-14 mungkin
sudah tidak sempat mencari pengganti dan menguruskan visa, tiket dlsb untuk
pengganti Mas tersebut.

Ini pendapat pribadi saya saja ya, yang berkali-kali gagal memperoleh besiswa.
Waktu saya akhirnya dapat beasiswa, saya tinggalkan istri dan anak saya yang
waktu itu baru berusia 6 bulan untuk 2 tahun, dan tambahan lagi 1 tahun. Jadi,
dari 4 tahun usia pernikahan kami, lebih dari setengahnya kami habiskan terpisah
10000 km. Tega. Mesti tega. Karena saya sayang sama keluarga saya. Saya tidak
mau nasib saya dan keluarga datar-datar saja dan buat saya satu-satunya cara
waktu itu adalah pergi. Keluarga pun mendukung walaupun saya tahu dengan berat
hati. Saya pikir kebanyakan pencari beasiswa pernah berada di posisi berat itu
dan saya pikir bagaimana kita menghadapinya adalah the one that defines us.

There can be no triumph without loss. No victory without suffering. No freedom
without sacrifice. (Lord of the Rings tagline)

Tentunya saya tidak bermaksud bilang kalau situasi yang saya lalui lebih berat
dari yang sekarang Mas hadapi. Saya tidak tahu. The decision is yours.


### Jonter Sitohang

Mas Hardian, kalo saya pribadi sih mendingan diambil aja beasiswanya, saya dulu juga pernah tinggal di Swedia ( beasiswa unggulan Diknas) selama 6 bulan) dan pada saat itu saya juga memiliki 2 orang anak kecil usian 7 tahun dan 4 tahun yang saya tinggalkan di Indonesia, memang berat sih rasanyan tetapi karean niat akhirnya saya ambil juga. Apalagi mas kan di kasih beasiswa, kalo ngak diambil kayaknya sepertinya kita dilihat tidak serius ( knp dulu tdk mempertimbangkan keluarga sblm applikasi?). Salam, Jonter Sitohang


### Dani Pratomo

klo saya agak beda nih kasusnya nih,

gini.. bulan depan (ato mungkin bulan berikutnya) saya sudah harus berada di
sebuah negara di eropa timur. dapet beasiswa s2 (tapi ga full)
masa studi kira2 3.5taon (sama belajar bahasa sono)

tadinya mo saya ambil tuh..

eh tau-taunya...
saya kemarin (ketiban rejeki anak) dapet beasiswa ikutan summit/summer school di
Inggris. Kenalan sama beberapa profesor, ketemu pangeran charles pula (sebagai
pihak pendiri yayasan yg bikin ni acara)

nah dilema gini,
dengan pengalaman tsb, otomatis saya jadi pede bwat kejar beasiswa s2 di inggris
yang notabene kualitas pendidikannya jauuuuuuuuh diatas nih negara eropa timur.
saya dah persetujuan untuk dibikinin surat rekomendasi dari bebrapa profesor
inggris yg saya temui (utk syarat2 apply). dan tentunya pengalaman ketemu/
berbicara/ berfoto bareng pangeran charles bisa jadi modal yg lumayan ketika
wwcr beasiswa...

utk ikut acara ini pun saya dapet banyak sponsorship dari bbrp perushaan di
Indonesia.

lah.. acara gini aja dapet sponsor bisa.. apalagi S2 (misalnya ga dapet yg full
scholarship)

kuliah di negaranya oom charles palingan juga 2 taon tops...

sumpah.. saya tuh jadi pengen batalin beasiswa yg udah saya dapet ini (gara2
terlanjur jalan2 keliling kampus cambridge dan terkesima dengan kampus disono)

tapi bingung mo ngomongnya gimana...

gimana menurut agan agan sekalian..


### Yusup Martyastiadi

Salam Bung Hardian,

Memilih dan memutuskan sebuah keputusan memang tidak boleh gegabah dan terhanyut oleh emosi semata. Saya juga meninggalkan keluarga (istri dan anak 1,5 thn) selama 2 tahun untuk menyelesaikan S2 saya di Australia (Juli 2008 - Agustus 2010). Keputusan yang berat memang untuk meninggalkan keluarga. Pengalaman saya, yang penting adalah terbuka dengan keluarga tentang rencana belajar kita, perlu ditekankan bahwa proses ini juga demi keluarga dikemudian hari dan bukan untuk keuntungan Bung Hardian semata. Namun bila memang keadaan tidak memungkinkan meninggalkan keluarga, maka kita perlu terbuka juga kepada sponsor pemberi beasiswa. Sampaikan kondisi yang sebenarnya, sebisa mungkin meminta masukan kepada mereka. Minimal mencari win-win solution. Usulan pribadi saya, kalau dimungkinkan, lebih baik Bung Hardian mengajukan penundaan keberangkatan (postpone), sehingga ada lebih banyak waktu untuk "menyiapkan kondisi" bagi keluarga yang akan ditinggalkan. Semoga aja "masalah rasa berat" meninggalkan keluarga bisa diselesaikan selama masa penundaan tersebut.
Semoga usulan saya membantu, sehingga Bung Hardian tidak "kehilangan" rencana-rencana yang sudah anda dan keluarga rencanakan.

Matur tengkyuuu.


### tua.agustinus

Halo mas Hardian,

Lebih baik diskusikan langsung dengan EM nya mas, terutama kalau sudah H-14; tanya juga apa anda akan di black-list jika meng-cancel keberangkatan yang sekarang (mungkin ga ya menanyakan itu ? ^^). Kalau tentang pesaing yang anda singkirkan, saya rasa itu tidak usah terlalu dipikirkan. Sad but true, that's the ironic of competition. Anda memenangkan kompetisinya; adalah hak anda untuk menerima atau menolak awardnya. Selamat merenung mas, semoga mendapat yang terbaik.

Two roads diverged in a wood, and I—
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference. (The Road Not Taken , R. Frost)


### rakhmat hidayat

Dua tahun lalu sy pernah mendaftar beasiswa dari salah satu Kedubes di Jakarta.Tahap terakhir sy mengikuti tahap seleksi wawancara. Berbekal surat rekomendasi dari professor di LN, sy PD untuk lolos. Namun, Tuhan berkata lain.Sy tdk lolos. Selang berapa bulan kemudian, dari seorang kawan yg juga lolos beasiswa itu sy tanya berapa orang yg lolos.Kawan saya bilang semua yg lolos 9 orang.Tapi dua orang mengundurkan diri, 1 orang karena diterima di beasiswa lain. Satu orang karena diterima kerja di tempat lain. Pertanyaan sy, kl pindah kerja di tempat lain knp hrs apply beasiswa?Ini memang hak pribadi dia.Tp sungguh tak adil bg sy, krn banyak orang spt sy dan juga ratusan pelamar lainnya yg sgt berharap dgn beasiswa itu. Setelah didapatkan dgn seenaknya, dia melepaskan begitu sj.Sayangnya, beasiswa itu tak mengenal kandidat cadangan.

Berbeda kasus dgn Anda, tp tolong pikirkan perasaan kawan-kawan mas yg juga bersaing untuk mendapatkan beasiswa tsb. Mgkn efeknya tdk akan dirasakan langsung oleh mas, tetapi bs jd akan dirasakan kolektif oleh teman-teman lain di Indonesia suatu saat tentunya krn akan di black list.


### sue yadi

Maaf ikutan nimbrung nih. Memang pada awalnya berat meninggalkan keluarga untuk study keluar negeri. Tapi yakinlah bahwa itu tidak berlangsung lama, terlebih lagi bila kita sudah in touch dengan program disana.
Kalau boleh saran, sebaiknya jangan dibatalkan. Lanjutkan saja, sebab itu adalah keputusan yang telah diambil jauh hari sebelumnya, berat meninggalkan keluarga sesuatu yang wajar, tapi bukan untuk selamanya. Apalagi hanya sepuluh bulan, lanjutkan saja, setelah itu pasti akan dirasakan bahwa 10 bulan bukanlah waktu yang lama.

Saya juga dulu pernah mengalami hal yang sama. Akhrinya selesai juga dua tahun saya berada di negeri seberang sana untuk menyelesaikan S2.
Semoga bermanfaat.


### divasasri bodhi

Dear Mas Hardian,
Sependek pengetahuan saya, black list bisa dihindari. Seorang teman yang mendapat beasiswa dari Fulbright, berhasil meyakinkan sponsor bahwa blio benar-benar tidak dapat meninggalkan keluarga. Akhirnya, blio berangkat tahun berikutnya (kalau tidak salah mesti mengulang proses aplikasi beasiswa dari awal). Namun demikian, saya sangat menyayangkan jika pembatalan beasiswa dan belajar ke luar negeri jadi anda lakukan. Ribuan orang antre untuk mendapatkan beasiswa yang sudah berhasil anda dapatkan. Sayang kalau dilepas. Saya ingin share pengalaman yang mudah-mudahan dapat membatalkan keinginan anda tersebut..:).

Meskipun tidak mendapat sertifikat, saya yakin suatu saat sertifikat anda nanti dapat dipergunakan untuk melamar sekolah lebih lanjut. Seorang teman yang belajar di Botswana (non-degree) mendapat jaminan dari seorang professor dari Australia bahwa sebagian nilai matakuliahnya diakui (transfer) bila ia melanjutkan kuliah di uni tersebut, karena uni yang di Botswana tersebut adalah salah satu uni asuhannya (Aussie uni).

Kebimbangan yang anda hadapi saat ini sempat juga dihadapi oleh rekan-rekan saya pada minggu-minggu akhir menjelang keberangkatan ke luar negeri. Berbagai pertanyaan diajukan mereka kepada diri sendiri. Ngapain susah-susah ke luar negeri meninggalkan keluarga? Percayalah kebimbangan itu akan semakin berkembang ketika anda sudah benar-benar menginjak negeri orang dan belajar di sana. Sudah jadi kaum minoritas, makanan yang ada bikin sakit perut, bahasanya tidak semua bisa dimengerti, tugas seabreg-abreg, mana musim tidak bersahabat, mesti nunggu bus di tengah hujan salju, sistem hukum yang tidak semuanya kita mengerti, kota yang kita tinggali tidak aman dan sebagainyaaaaa. Kalau sudah begini, pasti deh rasanya mau pulang ke Indo saja.

Yah, saya juga mengalami hal serupa. Kebetulan saat ini saya sedang belajar di sebuah negara barat. Berat pada awalnya. Tapi saya coba berfikir positif. Di negara-negara barat, perpustakaan universitasnya seperti istana. Hal yang susah saya dapatkan ketika belajar di universitas negeri di Indonesia yang dana pengadaan bukunya tidak sebanyak di negara barat. Saya harus jadi orang kaya dulu untuk mendapatkan 50 buku dan artikel untuk menyusun satu essay di Indonesia. Mau download artikel mesti bayar berdollar-dollar. Di sini, buku sebanyak itu bisa kita pinjam. Ribuan majalah sudah dilanggan oleh perpustakaan uni dan kita tinggal download gratis. Harga buku di sini juga super mahal, jika dikurs ke rupiah. Tapi di akhir semester buku itu kan bisa dijual lagi. Ratusan komputer uni bisa diakses oleh mahasiswa dan sambungan internetnya cepat dan gratis.

Hal positif yang lain adalah networking. Meskipun menjalin network bisa dilakukan dari Indonesia melalui internet, tapi hasilnya akan lebih terasa ketika kita ketemu langsung dengan pakar dan minta nasihat atau rekomendasi dari beliau-beliau yang tinggal di negara barat atau guest lecturers yang diundang oleh universitas di sini.

Selain itu, hal positif yang lain adalah pengalaman hidup yang kita dapat di luar negeri. Menjadi kaum minoritas di negeri orang adalah pengalaman hidup saya yang paling berharga dan akan tetap berharga ketika saya pulang ke Indo nanti. Pasti saya lebih toleran terhadap others di negeri kita sendiri (saya termasuk kaum mayoritas di Indo).

Kepuasan finansial? Fellowships memang pada umumnya tidak besar. Namun demikian, fellows dari Indo dikenal pandai berhemat, piawai menyiasati stipend dan ulet dalam bekerja sampingan (sepanjang diperbolehkan oleh pemberi beasiswa). Seorang kawan saya masih bisa hidup di sini dengan layak dan mengirim uang bulanan untuk istri (dengan dua anak) yang ditinggal di Indonesia dan masih bisa sedikit jalan-jalan, walaupun oleh sponsor ia tidak diperbolehkan menambah penghasilan dengan bekerja di sini. Jadi, besar kemungkinan tabungan akan sedikit bertambah ketika kita menginjak Cengkareng kembali, asal kita tidak terlalu banyak jalan-jalan...:).

Akhirnya, ketika kita dengan jatuh-bangun dan berdarah-darah (hehe) berhasil melewati term/semester pertama dengan baik (mata kuliah maupun hidup), rasanya kepuasan batin kita dinaikkan satu strip sama Yang di Atas (saya memang agak kege-eran..heheh). Yes, I made it!

Tentang keluarga... memang agak susah untuk membawa keluarga jika waktu studi hanya 10 bulan. Menurut saya keluarga memang mesti diikhlaskan untuk ditinggal di Indonesia.

Semoga membantu,


### Riezalts Pay

sebenarnya hal ini adalh masalah biasa, tidk seperti yg dpikirkan oleh teman
kita ini, bisa ampe diblacklist atu negara, terlalu jauh n berlebihan,
ada banyak orang di indnsia yang mengalami hal serupa, tidak ada maslah dgn hal
tersebut, yg penting anda komunikasikan dengan baik,


### frank_the_hero

Bung Hardian,

saya menyarankan agar bung Hardian ambil saja beasiswa tersebut, lalu dengan
segala cara yang mungkin mengusahakan agar keluarga anda (istri & anak?) bisa
menyusul ke Eropa secepatnya.

Tolong pertimbangkan sejujur-jujurnya pada diri anda sendiri, sanggupkah bung
bertahan tanpa keluarga di negeri asing sendirian selama berbulan-bulan? Jika
bung percaya pada ketahanan mental anda pribadi, jangan tolak kesempatan ini!
Jika ternyata bung belum sanggup (Bung Hardian yang belum sanggup, atau keluarga
bung yang belum sanggup melepas bung? Jujur saja, keluarga saya juga berat
sekali melepas saya sendirian ke negara maju, tetapi mereka mengerti bahwa saya
tidak akan berkembang jika terus tinggal di Indonesia), tentu keluarga harus
didahulukan saat ini dan mungkin di masa YAD bung bisa mencoba lagi dari awal.

Saya mengerti keluarga bisa jadi sangat berpengaruh terhadap keberhasilan studi
kita di luar negeri. Kalau sedang sangat frustrasi karena kangen dengan keluarga
di tanah air, saya bisa depresi berat sampai tidak semangat melakukan apa pun
berhari-hari. Hanya berbaring-baring saja dengan tatapan hampa, tidak makan,
tidak minum (satu teman saya dari Afrika malah sampai tidak tidur berhari-hari
dan mabuk-mabukan setiap malam karena kelewat kangen sama istri!). Untungnya ini
jarang sekali terjadi, tetapi tentu akan sangat signifikan pada reputasi
akademik jika terus berlarut-larut.

Di sisi lain, harap dipertimbangkan juga banyak orang yang bersedia berkorban
banyak hal untuk bisa menuntut ilmu keluar negeri, dan seperti yang telah
disampaikan oleh rekan-rekan beasiswa, peluang mereka bisa jadi tertutup jika
Bung Hardian mundur di saat2 terakhir. Saya tentu tidak menyalahkan jika bung
memutuskan mundur karena mendahulukan keluarga, tetapi sungguh keterlaluan jika
rekan-rekan lain (atau Indonesia secara umum) yang sama sekali tidak
tersangkut-paut dengan keluarga bung akhirnya dipersulit, dikurangi jatah
beasiswanya, atau diblack-list sekalian.

Mohon maaf jika pendapat saya menyinggung perasaan bung, tetapi hidup ini memang
soal pilihan, kan?


### faizal makhrus

Saya juga setuju dengan mayoritas pendapat-pendapat rekans milist sebelumnya.
Bahwa mungkin ada yg lebih membutuhkan beasiswa tersebut namun justru
disia-siakan. Jadi berangkat menjadi pilihan nomer satu dengan mengorbankan
keluarga. Bukan masalah dapat gelar atau tidak tapi kesempatannya itu (barang
kali itu malah rejeki dan orang bilang rejeki tidak boleh ditolak).

Namun, keberangkatan itu bisa gugur jika ada kemungkinan keluarga terancam
kelangsungan hidupnya ketika Anda pergi. Klo alasan itu ada, apa boleh buat,
karena keluarga adalah segalanya.


### Riza Y. Setiawan

Dear Bapak Hardian,

Saya mau berbagi pengalaman utk dijadikan pertimbangan.
Ketika studi master sy mau berakhir thn 2008 lalu, sy mendaptkan
beasiswa PhD dr slh 1 foundation di Japan.
Tetapi dikarenakan jumlah beasiswanya tdk spt yg sy harapkan, sy
cancel beasiswa tsb, tentunya dgn mendiskusikan sebelumnya dgn
professor.
Sy diskusi dgn Professor mengenai alasan sy & Alhamdulillah beliau memahami.
Kemudian beliau menyarankan supaya memakai alasan keluarga sbg alasan.
Pokoknya alasannya jgn berhubungan dgn riset.
Waktu itu saya memakai alasan mau nikah & tdk jd melanjutkan PhD study ;))
In fact, sampe skr sy blm nikah jg ;))
Alhamdulillah sampai skr tidak ada masalah, baik dr quota yg diberikan
maupun hal2 yg berbau blacklist.
Malahan sampai skr sy msh dikirimi buletin dr beasiswa tsb ;)
Demikian pengalaman yg bs sy share, smoga bermafaat.


### amorphsio2

yup ini masalah yang sangat biasa. anggap saja kita lolos seleksi tiga beasiswa,
toh gak bisa diambil tiga2 nya. yang penting itu komunikasi. pemberi beasiswa
juga manusia. saya yakin kasus2 seperti ini sudah sangat terantisipasi oleh
pemberi beasiswa.
yang parah itu, kalo gak lolos/ qualified seleksi besiswa tapi maksa2 dilulusin
:D



### Safri Haliding

salam

sebelumnya saya ucapkan selamat karena Anda mendapatkan peluang dan kesempatan dari EM, saya setuju dengan Mas Agus.
saya punya pengalaman yang kurang lebih sama dengan Mas Hardian, saat ini sedang melanjutkan s2 di Malaysia dengan biaya dari sponsor namun sponsor yang saya dapatkan tidak mencukupi atau boleh dikatakan kurang sehingga saya memutuskan untuk mengapply beasiswa dari negara yang sama dengan spesifikasi jurusan yang sama dan Alhamdulliah saya mendapatkan.

namun pada pertimbangan terakhir saya memutuskan untuk melanjutkan S2 saya yg sedang berjalan, lalu saya mengkomunikasi kepada pihak penyedia beasiswa menyatakan alasan untuk menunda beasiswa atau men-defer sampai s2 saya yang berjalan selesai.

Awalnya saya juga ragu namun dengan niat yang baik dan usaha, terbuka jalan dan

Akhirnya dengan komunikasi yang baik panitia menerima dan bahkan tidak memblack list daerah/ alumni dari Almamater S1 saya apabila pada akhirnya saya memutuskan untuk membatalkan beasiswanya. Terima kasih.


### mutiara tirta

yap bener sih ini masalah biasa, tp jd luar biasa krn ybs baru akan menolak H-14, kan biasanya pemberi beasiswa memberi waktu ke kita untuk persetujuan kontrak atau tidak, klo br sekarang2 memberi keputusan mundur pdhl sudah blg iya ... maaf ya, menurut saya itu kebangetan deh!! ... saran saya sih defer aja dulu, jgn withdrawn, kemukakan alasan yg masuk akal dlm pandangan mereka lho ya ... nah klo ternyata mereka tidak bisa menerima defer ato tidak ada mekanisme tsb baru deh withdrawn ..



### cilik pierewan

Mas Hardian,

Masalah keluarga memang jadi perhatian utama dan penting untuk menerima atau menolak beasiswa. Ini juga saya rasakan di akhir tahun lalu, saya tinggalkan keluarga dengan 1 anak berumur 3 tahun, dua bulan setelah saya tinggal sempat sakit, diopname walau tidak ditemukan penyakit yang jelas, dan diduga kuat memang kangen bapaknya.

Kegiatan atau prosesi yang paling membantu adalah do'a. Ternyata dibalik itu semua, banyak kemudahan yang dialami oleh keluarga saya. Dan tahun depan saya berencana memboyong keluarga untuk ikut serta. Istri dan anak saya sangat antusias untuk menanti keberangkatan ke Eropa. Saya lebih melihat menerima beasiswa sebagai:

1. Duta keluarga, sebetulnya di masa mendatang keluarga akan mendapatkan manfaatnya.
2. Duta universitas, universitas akan terbantu dengan banyak keuntungan ketika kita studi di luar negeri.
3. Duta bangsa, membuka wawasan kita untuk semakin bisa membantu bagaimana mengatasi permasalahan bangsa yang sedang sakit ini.
4. Duta Tuhan, untuk menyebarkan kebaikan seluas mungkin.

Memang akan ada kalimat yang kira-kira senada dengan kalimat ini: "Buat apa menerima beasiswa di luar negeri, kalau harus mengorbankan keluarga?"
Bagi saya, mengorbankan keluarga itu sebuah hal yang perlu, yang tidak boleh menelantarkan dan menyia-nyiakan keluarga. Walaupun sekolah di dalam negeri sebetulnya kita juga mengorbankan keluarga. Kalau saya amati mungkin tidak ada hubungan yang meyakinkan antara kedekatan dengan keluarga dan kehangatan.

Kemungkinan lain yang juga bisa terjadi, pihak pemberi beasiswa akan khawatir dengan calon penerima beasiswa yang sudah berkeluarga. Mungkin tidak akan sampai diblacklist, tapi lebih mendetailkan pertanyaan ketika wawancara bagi calon yang sudah berkeluarga.

Namun demikian, sekolah luar negeri juga bukan segalanya, karena kalau bisa berbuat lebih baik bagi bangsa tanpa harus di luar negeri, ini juga keputusan bijak.

Pendeknya, jika saya sebagai Mas Hardian, maka dengan do'a saya akan ambil beasiswa tersebut, dan di paruh akhir bisa mengajak keluarga.


########### Hardian

Dear milister,

Pertama mohon maaf bila saya tidak bisa membalas dengan cepat komentar, saran, dan share teman-teman secara cepat, maupun satu-persatu.

Kedua, terima kasih banyak atas share pengalaman teman-teman disini... sungguh bila membaca pengalaman teman-teman, saya menjadi lebih ringan dalam menghadapi masalah ini. Saya ingin menjelaskan keluarga yang saya khawatirkan adalah ibu saya, terutama terhadap kesehatan dan mental beliau (yang kemarin-kemarin masih sulit siap untuk melepas putra satu-satu-nya, walau 'hanya' pergi 10 bulan --mungkin karena kesepian, rumah saya sepi sejak saya dan adik sekolah di luar kota dan ayah sering dinas luar kota).

Ketiga, saya terus meyakinkan ke keluarga dan saya sendiri bahwa keputusan berangkat adalah keputusan yang "tidak akan sia-sia". Saya semakin percaya ini melihat banyak sekali pengalaman2 teman-teman yang sungguh-sungguh mengambil beasiswa sebagai niatan baik kalian, baik untuk diri-sendiri; orang-orang terdekat; bahkan bagi negara. :) Untuk sekarang, ibu sudah bisa mulai ikhlas menerima dan tampak kesehatan beliau membaik (tampak ada korelasi jelas antara stress dengan kesehatan fisik).

Mungkin sekian yang bisa saya ucapkan. Terima kasih untuk dukungan moral dan semangat teman-teman.
Masih H-10 untuk keberangkatan saya (dengan default-plan adalah berangkat). Terbaik yang saya bisa lakukan saat ini adalah berdoa dan pasrah terhadap kehendak-Nya. Saya percaya bila niat saya baik, saya tidak akan kecewa, apapun nanti jalan-Nya.

Semoga teman-teman sekalian sukses dan tetap semangat, baik yang masih mencari beasiswa, menunggu keputusan beasiswa, bersiap untuk menjalani masa beasiswa-nya, dan yang sedang menjalani masa beasiswanya. Tuhan memberkati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar